Drs. M. Arif AM, MA Dosen STAIN Kediri Menurut John L. Esposito, KH Abdurrahman Wahid adalah seorang pemikir, penulis dan politisi Islam Indonesia. Beliau merupakan salah satu pemimpin intelektual Muslim yang paling berpengaruh di Indonesia dewasa ini. Juga merupakan seorang kolumnis terkenal masalah budaya, social, dan politik yang mendorong kontribusi Islam pada pluralisme, keadilan social, dan demokrasi (Esposito, 2001:16). Pendahuluan
Ketika pesta akhir tahun 2009 mulai berdesir samar-samar di telinga muda-mudi , tiba-tiba terhembus dan beredar kabar duka, salah satu putra terbaik bangsa dipanggil Sang Khaliq untuk menghadapNya, beliau adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mantan Ketua Umum PB NU, Presiden RI ke 4. Bangsa Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya yang menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, pada hari Rabu 30 Desember 2009, sekitar pukul 18.45 WIB (Jawa Pos, 31-12-2009). Pluralisme Gus Dur Menurut John L. Esposito, KH Abdurrahman Wahid adalah seorang pemikir, penulis dan politisi Islam Indonesia. Beliau merupakan salah satu pemimpin intelektual Muslim yang paling berpengaruh di Indonesia dewasa ini. Juga merupakan seorang kolumnis terkenal masalah budaya, social, dan politik yang mendorong kontribusi Islam pada pluralisme, keadilan social, dan demokrasi (Esposito, 2001:16). Dalam ilmu social, pluralisme adalah sebuah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleran satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. (Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas). Walaupun Gus Dur bersikap santai dan sederhana, arus kegiatan di sekelilingnya dan reaksi orang terhadap dirinya ketika mereka menemuinya, jelas sekali menunjukan bahwa beliau adalah seorang yang sangat penting dalam masyarakat Indonesia. Pada tahun 1990, majalah berita mingguan yang terpandang, Editor, memberikan kepada Gus Dur anugerah Orang Terpopuler Sepanjang Tahun (Man of TheYear). Dalam edisinya tanggal 22 Desember, majalah itu memuat 15 halaman tulisan mengenai Gus Dur. Subjudul di kulit sampulnya berbunyi “Tahun mulai bangunnya Islam di Indonesia”. Judul liputan utama berbunyi: “Suatu mosaic yang bernama Abdurrahman Wahid”. Sedangkan subjudulnya berbunyi: “Gus Dur orang terpopuler tahun 1999, sering bersikap kontroversi dan tidak takut untuk menjadi merdeka” (Barton, 2003:6). Dalam hal ini harus diakui bahwa pemikiran Gus Dur jauh melampaui batas wawasan umatnya sendiri, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Gus Dur adalah orang yang paling berjasa dalam mengantarkan NU dalam kondisi seperti sekarang ini (Darwis, 1994:xi). Ketika Muktamar Situbondo 1984 tinggal beberapa bulan lagi, Gus Dur membuat manuver yang mengherankan banyak orang. Tidak beberapa lama setelah peristiwa Tanjung Priuk, Gus Dur mengundang Jenderal Benny Moerdani ke pesantren-pesantren. Alasannya biar Jenderal Benny yang waktu itu menjabat Pangab, mengenal pesantren sehingga tidak mencurigai orang-orang pesantren. Setelah proses yang diupayakan Gus Dur ini, tercapai suatu iklim yang harmonis di kalangan tentara terhadap pesantren. Kecurigaan-kecurigaan yang sebelumnya kental, menjadi cair (Bruinessen, 2010:71). Di sini, Gus Dur membangun citra dirinya sebagai pendukung kuat idealisme Negara Pancasila. Bagi Gus Dur, toleransi beragama yang secara implicit terkandung di dalam Pancasila merupakan prasyarat yang sangat penting dalam pembangunan sebuah masyarakat demokratis di negeri ini. Dalam pandangan Gus Dur, Pancasila adalah sebuah kesepakatan politik yang memberi peluang bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan kehidupan nasional yang sehat di dalam sebuah Negara kesatuan, namun ia masih melihat adanya sejumlah ancaman terhadap konsepsi Pancasila sebagaimana yang diharapkan (Ramage, 2010:106). Pada tahun 1945, Soekarno meminta dan menerima nasehat para pimpinan NU tentang bagaimana seharusnya Pancasila disusun sebagai dasar Negara. Lagi pula, menurut Gus Dur, tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme. Islam bisa berkembang sehat dan baik di dalam kerangka kenegaraaan nasional (Ramage, 2010:107). Martin van Bruinessen, seorang peneliti senior tentang NU dari Belanda mengungkapkan secara jujur tentang sosok Gus Dur. Dia menyatakan bahwa dalam kenyataannya, sebagian dari pemikir muslim paling menarik di Indonesia berasal dari latar belakang tradisonalis, bukan modernis. Abdurrahman Wahid, Musthofa Bisri, dan Masdar Farid Mas’udi (Bruinessen, 2009:9). Bagi umat Konghucu, tokoh NU ini ibarat bapak. Jauh sebelum menjadi presiden, Gus Dur menunjukkan komitmen untuk membela kaum minoritas Tionghoa. Pun ketika menjadi RI-1, almarhum dikenal mengegolkan Koghucu menjadi agama resmi di Indonesia. Ketika umat muslim di luar Indonesia terus bergejolak, Gus Dur mampu mendinginkan suasana agar tetap tenteram. Oleh karena itu muslim Indonesia dikenal sebagai Islam yang moderat. Yang mampu melindungi kaum minoritas.Umat Konghucu akan memasukkan hari wafat Gus Dur ke dalam agenda tahunan Kelenteng Boen Bio. Dengan begitu, generasi penerus bisa tetap mengenang perjuangan Gus Dur (Jawa Pos, Senin 4 Januari 2010). Hingga hari ke tujuh meninggalnya Gus Dur, ribuan peziarah masih mengunjungi makamnya di lingkungan Pondok Pesantren Tebuireng Kecamatan Diwek Jombang. Puluhan Biksu dari Konferensi Agung Sangha Indoensia (KASI) 4 Januari 2010 berziarah ke makam mantan presiden ke empat RI tersebut. Menurut mereka, Gus Dur merupakan perwujudan Bodhissatva, makluk yang mendedikasikan dirinya demi kebahagiaan makhluk semesta (Jawa Pos, Selasa 5 Januari 2010). Sosok putra KH Wachid Hasyim itu bisa menerima resiko dengan merangkul orang-orang yang menderita. Seharusnya cerita tentang Gus Dur diceritakan turun temurun lewat sekolah keluarga dan masyarakat. Gus Dur harus menjadi bagian dari kita. Jadi, secara berkelanjutan kita harus melanjutkan cita-citanya. Gus Dur adalah kiai besar. Tapi, kebesaran tersebut tidak lantas membuat beliau jauh dari rakyat. Sikap yang beliau kembangkan justru merakyat. Semua hidupnya dianugerahkan untuk rakyat, tuturnya. Hal itulah yang membuat Gus Dur menjadi manusia luar biasa (Jawa Pos, Selasa 5 Januari 2010). Isu Pluralisme Terancam. Prospek keberagaman (pluralisme) di tanah air terancam tidak berkembang pasca wafatnya mantan presiden Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Mantan ketua Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla menegaskan, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang pluralisme, leberalisme, dan neoliberalisme yang dikeluarkan pada 2005 menjadi penyebab mundurnya gerakan keberagaman (pluralisme). Fatwa itu, kata Ulil, mengangap pluralisme membahayakan akidah atau keimanan. Ada semacam sinisme terhadap orang-orang yang mengampanyekan ide-ide pluralisme, kata ulil dalam dialog Prospek Demokrasi dan Kebebasan di Jakarta, Jum’at 22 Januari 2010 (Jawa Pos, Minggu 24 Januari 2010). Pluralisme dan kerukunan antar umat saat ini dianggap sebagai ide maju.Tokoh-tokoh moderen pluralisme seperti Gus Dur dan Nur Cholish Madjid, menurut Ulil, harus mendapatkan legitimasi di masyarakat. Di tengah makna peyoratif pluralisme, kata Ulil, media justru memperparah dengan memproduksi kata-kata yang menjerumuskan. Dalam sejumlah kasus Ahmadiyah misalnya, justru media menggunakan kata aliran sesat seperti yang digunakan MUI. Hal serupa dikemukakan Musdah Mulia, dalam penangkapan anggota Komunitas Lia Eden, Misalnya. Media massa sering menulis itu dengan alaian sesat. Paling halus ditulis aliran yang dianggap sesat. Padahal, bisa ditulis secara netral, ujarnya (Jawa Pos, Minggu 24 Januari 2010). Multikulturalisme Gus Dur Perbedaan Mesti Ditoleransi Rasional. Perbedaan dalam segala aspek kehidupan mesti ditoleransi secara rasional dan konstruktif untuk mencapai persatuan dalam keberagaman yang hakiki. Demi tujuan tersebut, dialog dan silaturrahmi yang lebih intensif perlu dilakukan untuk menjaga persatuan dan perdamaian. Demikian sebagian isi dialog yang terangkum dalam seminar internasional bertema Unity in Diversity, yang diselenggarakan pada Jum’at 22 Januari 2010 di Aula Syahida Inn, Kompleks Universitas Islam Syarif Hidayatullah, Ciputat Propinsi Banten. Pembicara yang hadir adalah Chairman Moderate Muslim Society Zuhairi Misrawi serta tiga ulama, yaitu Syekh Ahmed Tijani ben Omar (Ghana), Syekh Faraz Rabbani (Kanada), dan Syekh Sa’ad Al Attas (Inggris). Zuhairi mengatakan perbedaan ialah keniscayaan (sunnatullah) dalam agama Islam yang mesti dihadapi secara bijak. Menurut Syekh Ahmed Tijani, yang kini juga harus dimulai oleh setiap Muslim adalah menyemai bibit-bibit perdamaian dari dalam diri sendiri. Kata Ahmed, perang paling besar justru perang melawan hawa nafsu sendiri. Ahmed menambahkan, kehadirannya di Indonesia juga untuk mengabarkan kepada komunitas internasional soal peran (Kompas, Senin 25 Januari 2010). Bapak Demokrasi Papua untuk Gus Dur. Satu persatu penghargaan masih terus diterima almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tanggal 25 Januari 2010 presiden ke-4 RI tersebut ditahbiskan rakyat Papua sebagai bapak demokrasi Papua. Sebutan bapak demokrasi Papua tersebut dideklarasikan dalam acara: Gus Dur, 10 Tahun Kembali Nama Papua (1 Januari 2000-1 Januari 2010). Acara tersebut diselenggarakan di GOR Cendrawasih, Jayapura. Don Flassy, salah seorang tokoh Papua yang memperoleh kesempatan memimpin renungan dalam acara itu, menegaskan bahwa jasa Gus Dur bagi masyarakat Papua cukup besar. Ketika menjabat presiden, Gus Dur lah yang mengembalikan nama Papua sebagai pengganti Irian Jaya. Flassy bahkan mengibaratkan Gus Dur seperti Douwes Dekker-nya Papua. Jika Douwes Dekker berjuang untuk kesetaraan antara rakyat Indonesia dan Belanda, Gus Dur berjuang agar masyarakat Papua setara dengan masyarakat lain di propinsi lain di Indonesia, ujarnya (Jawa Pos, Selasa 26 Januari 2010). Semasa hidupnya, dia memosisikan diri sebagai sosok humanis yang selalu peduli terhadap masalah kemanusiaan di belahan dunia manapun. Beliaulah yang menjadi jembatan untuk hubungan antara Islam -Yahudi dan Kristen tanpa ragu sedikitpun, ujarnya. Khusus tentang Papua, kembalinya nama Papua termasuk salah satu di antara tiga kebijakan Gus Dur. Saat menjadi presiden, Gus Dur pula yang mengizinkan bendera Papua, Bintang Fajar, berada di samping bendera Merah Putih. Acara di GOR Cendrawasih (25/1/2010) dihadiri oleh adik kandung Gus Dur, Lili Chodijah Wahid yang menjadi anggota Komisi I DPR RI. Bersama Lili, hadir Inayah Wahid, putri kandung Gus Dur (Jawa Pos, Selasa 26 Januari 2010). Tokoh Lintas Negara Doakan Gus Dur. Makam KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di kompleks Pesantren Tebuireng Jombang, tak pernah sepi peziarah. Hingga sebulan pasca meninggalnya presiden ke-4 RI tersebut, masyarakat masih berdatangan untuk berziarah. Termasuk kalangan muslim luar negeri. Selasa 26 Januari 2010, empat tokoh yang tergabung dalam organisasi Islam Internasional Simply, Islam dan Arus Damai serta Radical Middle Way (London) mengunjungi makan Gus Dur. Mereka adalah Abdurrahman (Inggris), Mohamed Nassir (Singapura), Syekh Faraz Robbani (Kanada), dan Syekh Saad Al Attas (Afrika). Mereka datang bersama ketua Moderate Moslem Society Zuhairi Misrawi dan Hamim Rosyidi, ketua II Yayasan Darul Hikmah Mojokerto. Direktur Simply Islam Mohamed Nassir menyatakan, sangat mengagumi Gus Dur. Ketokohannya bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia, ucapnya setelah berziarah. Menurut dia, Gus Dur mampu membawa Islam Indonesia ke kancah internasional. Sekaligus mengangkat citra Islam yang damai, toleran, dan humanis. Gagasan yang diusung sama dengan yang dicita-citakan, terangnya. Yakni, menunjukkan wajah Islam yang penuh cinta kasih dan menjadi rahmat bagi seluruh alam Jawa Pos,Rabu 27 Januari 2010). Basis Pemikiran. Banyak orang NU dan Indonesia yang cerdas dan memiliki kepemimpinan yang bagus. Namun, Gus Dur memilliki keunikan yang membedakannya dengan orang-orang semacam itu. Bahkan, dalam taraf tertentu, Gus Dur bebrbeda dengan lmarhum kakeknya, KH Hasyim Asy’ari dan almarhum ayahnya KH Wahid Hasyim. Gus Dur lahir di lingkungan tradisi pesantren yang kuat di Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Namun, Gus Dur juga tumbuh dan berkembang di kawasan Menteng. Dua lingkungan ini telah menyatu di dalam diri Gus Dur, yang kemudian terefleksi pada pikiran-pikirannya. Dunia pesantren telah memungkinkan Gus Dur memahami dan mendalami pemikiran-pemikiran klasik Islam, khususnya yang berakar pada tradisi Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja). Sementara itu, penguasaan bahasa asing (non-Arab), kemampuan belajar otodidak yang luar biasa, dan bergaul dengan komunitas nonpesantren telah memungkinkan Gus Dur berenalan dengan pemikiran-pemikiran mondial. Di antara pemikiran Gus Dur yang mengemuka adalah berkaitan dengan relasi antara Islam dan kebangsaan. Keduanya bisa jadi satu kesatuan yang berkait. Wujud pemikiran itu terejawantahkan melalui keputusan alim ulama NU pada tahun 1983 bahwa Negara Indonesia yang berasas Pancasila itu bersifat final. Ini memang keputusan jam’iyah, organisasi NU, dan bukan keputusan pribadi Gus Dur. Namun Gus Dur merupakan salah satu actor kunci bagi lahirnya keputusan itu. Dalam pandangan NU-dan Gus Dur- negara Pancasila merupakan negara ideal yang mampu menaungi dan menghargai kebinekaan masyarakat Indonesia. Negara demikian memungkinkan Islam dan agama-agama lain tumbuh dan berkembang dalam wadah kebersamaan. Pandangan semacam itu pula yang mendorong lahirnya pemikiran dan praksis Gus Dur yang bercorak multikultural. Realitas bahwa negara-bangsa Indonesia itu beragam dari segi etnik, agama, dan pembeda-pembeda lainnya tidak bisa dikonstruksi melalui pemikiran atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, sejak awal, Gus Dur merupakan pembela kelompok-kelompok minoritas yang merasa termarjinalkan oleh kelompok mayoritas. Dalam pandangan Gus Dur, betapapun kuatnya mayoritas tidak boleh melakukan penyingkiran terhadap kelompok-kelompok minoritas, karena mereka memiliki hak untuk tumbuh, berkembang, dan berdampingan dengan kelompok mayoritas (Kacung Marijan, dalam Kompas, Rabu 6 Januari 2010). Sosok Gus Dur telah memungkinkan NU menjalin komunikasi yang lebih luas dan intens dengan komunitas-komunitas non-NU. Sosok Gus Dur pula telah memungkinkan nilai-nilai multikulturalisme terpahami dan terpraktekkan, khususnya di kalangan komunitas Muslim (Kacung Marijan, dalam Kompas, Rabu 6 Januari 2010).Dalam penanaman nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme, sosok Gus Dur tidak hanya menggunakan media pidato atau ceramah saja, tetapi lebih dari itu dengan pendekatan uswah khasanah, sehingga tidak hanya teoritis tetapi secara praktis dan aplikatif (Arif AM, dalam Irwan Abdullah, et.al (Ed), 2008:47). Daftar Pustaka
Sumber: Pluralisme dan Multikulturalisme Gus Dur Comments are closed.
|
Kajian Islam MadaniKumpulan catatan kajian dari Komunitas Islam Madani dan artikel lain seputar Islam yang menyejukkan Arsip |