Fariz Alniezar Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta "Tak pelak tugas berat yang kita pikul dalam memerangi radikalisme dalam beragama adalah mensosialisasikan model Islam Madinah yang terekam sangat berperadaban yang produk konstitusinya sebagaimana dikatakan oleh Robert N. Bellah (1990) dalam Beyond Believe-nya yang menjadi satu-satunya produk konsensus tertua dan paling maju pada zamannya, piagam Madinah adalah rekaman sejarah yang menunjukan bahwa Islam mampu merangkul semua golongan bahkan di luar Islam itu sendiri." Mengamati berita tentang bergabungnya warga Negara Indonesia ke ISIS (Negara Islam Iraq dan Syiria) pada saat tur di Turki beberapa hari lalu menarik untuk dikemukanan bahwa faktor utama dari akar radikalismebelakangan ini adalahberasal dari pendangkalan pemahaman agama serta fanatisme idiologis tertentu. Superfisialisme dan juga fanatisme agama tersebut pada gilirannya berperan sebagai yang pemantikyangmbumbonigerakan radikalisme.
Pada titik itu kita kembali dihadapkan pada apa yang diistilahkan oleh Roxanne L. Ebune (2000) sebagai gejala superfisialisme (pendangkalan) dalam memahami agama yang sangat akut dan akan gawat jika kita biarkan tumbuh tanpa pernah berusaha kita pangkas keberlangsungannya. Dalam bahasa Ebune, superfisialisme agama yang mengejawantah menjadi radikalisme gerakan beragama itu diibaratkan sebagai musuh dalam cermin (enemy in the mirror). Musuh yang bersemayam dalam cermin tersebut bisa dibayangkan betapa susahnya untuk memeranginya. Karena bagi musuh dalam cermin tak ada jalan lain bagi kita untuk memeranginya kecuali memerangi diri sendiri yang berselimut kebodohan serta dangkalannya pemahaman keagamaan. Islam, Substansi Nilai Pemahaman yang mendalam bahwa Islam adalah sebuah substansi nilai dan seperangkat metodologi yang bisa saja ia memiliki kesamaan atau juga pertemuan dengan substansi nilai yang berasal muasal dari agama, ilmu atau bahkan tradisi lain di luarnya sama sekali belum nampak menjadi sebuah ilmu yang menancap di benak kita umat Islam Indonesia. Pemaknaan mayoritas kita terhadap Islam adalah lebih kepada sebatas ritus, serta ibadah an sichyang hal itu sebetulnya merupakan bagian sepotong dari Islam itu sendiri. Ringkasnya cara pandang kita terhadap keislaman seseroang kita kerdilkan hanya berkisar sebatas seberapa lamakah dia bergaul dengan masjid, seberapa intenskah dia salat jama’ah bahkah seberapa rajinkan seorang muslim puasa itu saja tidak lebih. Padahal, jika kita mau reflektif maka sesungguhnya Islam itu adalah Islam. Islam tidak sama dengan paham-paham yang ada sekarang ini. Islam bukan sunni, bukan syi’i bukan juga muhammady (muhammadiyah), kesemuanya adalah hanya sebatas pandangan-pandangan dalam rangka mendekati sejatinya Islam itu sendiri. Maka tidak elok bahkantidak benar mengatakan bahwa Islam maksimalis adalah berislam secara NU, sebaliknya berislam yang minimalis adalah berislam secara Muhammadiyah atau bisa juga Islam abal-abal adalah Syiah, sama sekali itu tak benar dipandang dari sisi pandang manapun. Islam itu adalah kesatuan dua dinamika dari kahidupan Muhammad yakni di Makkah dan juga di Madinah. Betapapun jika kita maknai dengan seksama bahwa Islam yang kita anut dan kita pahami saat ini adalah Islam model Makkah yang ibadah sentris, sedangkan jika kita cocokkan tentu pluralitas negara kita sangatlah menuntut kita untuk menerapkan Islam model madinah di mana Islam dimaknai sebagai agama peradaban, penjaga gawang terhadap kemungkinan-kemungkinan tindak kejahanan tak manusiawi. Islam Madinah, Islam Peradaban Islam Madinah inilah yang harus kita hadirkan di negara kita, pemahaman Islam yang benar-benar progressif yang meletakkan agama bukan hanya berhenti sebatas ritus tapi lebih dari itu agama sebagai way of life penjaga harmoni, rel kemajuan ekonomi serta pembela hak azazi. Sebetulnya modal terbesar yang kita punyai adalah dengan diresmikannya Surabaya pada 2012 sebagai kota berjuluk serambi Madinah (Caknun.com). Mengingat pluralitas penduduk, kemajemukan ragam budaya serta keterbukaan alam informasinya maka kota ini pantas untuk disemati gelar serambi Madinah. Jika Aceh ketat dengan syariat-Islamnya itu karena lebih ia dijuluki serambi Makkah, di mana model berislamnya juga ala Makkah yang cenderung sangat ketat dan kaku, maka Surabaya menjadi kutub seberang dengan berislam yang lebih toleransi dan terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan perbedaan baik dari dalam agama itu sendiri bahkan dari luar agama tersebut. Tak pelak tugas berat yang kita pikul dalam memerangi radikalisme dalam beragama adalah mensosialisasikan model Islam Madinah yang terekam sangat berperadaban yang produk konstitusinya sebagaimana dikatakan oleh Robert N. Bellah (1990) dalam Beyond Believe-nya yang menjadi satu-satunya produk konsensus tertua dan paling maju pada zamannya, piagam Madinah adalah rekaman sejarah yang menunjukan bahwa Islam mampu merangkul semua golongan bahkan di luar Islam itu sendiri. Solusi paling masuk akal dan mudah untuk kita realisasikan antara lain adalah dengan bahu membahu mensosialisakian medel berislam ala Madinah yang ramah lingkungan tersebut, yaitu bisa kita tempuh dari skala terkecil sesuai yang kita jangkau, Dimulai dari diri kita, keluarga kita juga masyarakat kita bahkan ormas-ormas keagamaan wajib hukumnya untuk merumuskan kembali bagaimana cara mengkader anggotanya agar mereka “bunyi” dan hadir dengan wajah Islam yang ramah di “ladang”nya masing-masing. Selain itu, penting dan layak untuk diapresiasi langkah PBNU yang mengambil tema Islam Nusantara dalam perhelatan Mukatamar ke-33 yang akan digelar di Jombang 1-5 Agustus 2015 mendatang. Sebab bagaimanapun juga mengaktualisasikan Islam nusantara sebagai cara pandang dan laku hidup berislam adalah hal yang darurat untuk dilakukan saat ini.wallahu a’lam bis showab. Sumber: Situs NU Online Comments are closed.
|
Kajian Islam MadaniKumpulan catatan kajian dari Komunitas Islam Madani dan artikel lain seputar Islam yang menyejukkan Arsip |