Zuhairi Misrawi[2] Wafatnya Mbah Maridjan akibat meletusnya Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober 2010 menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat. Di satu sisi, Mbah Maridjan diberitakan telah menghembuskan nafas terakhirnya dalam keadaan sujud, yang bisa ditafsirkan sebagai manifestasi “muslim taat”.[3] Tetapi, di sisi lain, Mbah Maridjan juga digambarkan sebagai seorang muslim Jawa yang mempertahankan tradisi lokal, yang diekspresikan melalui kesetiaannya menjadi “juru kunci” Merapi hingga akhir hayatnya.[4] Polemik Mbah Maridjan sebenarnya bukan hal yang sepele. Polemik tersebut mencuat ke permukaan, di antaranya dalam perdebatan sengit soal dikotomi Santri-Abangan yang pernah dipopulerkan Clifford Geertz pada tahun 60-an dalam Religion of Java.[5] Sejak saat itu, entitas santri dan abangan seolah-olah selalu diperbandingkan, bahkan dipertentangkan, baik dalam ranah politik maupun paham keagamaan.
Bagi sebagian kalangan muslim, tesis Geertz digunakan sebagai acuan untuk membenarkan pandangan mereka soal purifikasi Islam. Seorang muslim sejatinya harus murni dari berbagai macam takhayul, bid’ah dan tahayul. Artinya, seorang muslim yang sejati tidak mungkin menjadi sebagai “muslim abangan”, karena kedua entitas tersebut tidak mungkin disenyawakan. Keduanya seolah-olah diibaratkan seperti langit dan bumi. Infiltrasi paham-paham keislaman transnasional dalam gerakan keagamaan di tanah air, seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahin Indonesia, Front Pembela Islam, dan lain-lain, telah menguatkan polarisasi afiliasi keberagamaan kalangan muslim. Meskipun dikotomi tidak dalam bentuk “santri” versus “abangan”, tetapi dikotonomi “muslim” dengan “bid’ah”, bahkan “muslim” versus “kafir”. Mereka yang tidak sejalan dengan karakter “muslim” ala mereka kerap disebut “kafir” atau “musyrik”. Pemandangan tersebut menimbulkan kegelisahan tersendiri di kalangan muslim tradisional, yang selama ini menganut moderasi antara tradisi dengan kemodernan, antara budaya dan hukum Islam, antara sejarah dan keyakinan. Paham tersebut secara nyata berbenturan dengan paham mayoritas kalangan muslim tradisional yang menganut paham ahlussunnah wal jama’ah.[6] Kalangan muslim tradisional merupakan kelompok mayoritas yang sedari awal meyakini bahwa tradisi lokal yang dianut kalangan abangan tidak serta-merta dipertentangkan dengan agama.[7] Keduanya bisa dinegosiasikan dan tidak bisa dipertentangkan. Sebab watak yang menonjol dari keberagamaan kalangan tradisional, yaitu keberagamaan yang bersifat sintesis yang kemudian melahirkan corak keberagamaan yang moderat, karena dalam sejarahnya agama senantiasa berakulturasi dengan kebudayaan masyarakat setempat. Di masa lalu, dalam konteks negara-bangsa, Soekarno telah memulai keberagamaan sintesis dengan mengawinkan antara tiga paham besar, yaitu Islam, nasionalisme, dan marxisme.[8] Sintesa ketiga paham besar tersebut melahirkan Pancasila sebagai common platform dalam berbangsa dan bernegara. Di tengah arus besar negara-negara muslim, yang mencanangkan Islam sebagai dasar negara, seperti Pakistan, Iran, dan Arab Saudi, tetapi Soekarno bersama para pendiri bangsa lainnya memilih untuk mencari alternatif, yaitu platform yang mempersatukan seluruh warga dari berbagai latar belakang agama, suku, dan bahasa. Soekarno bersama para pendiri bangsa lainnya memahami, bahwa meskipun Islam dipilih sebagai dasar negara, tidak secara serta-merta mengakhiri polemik tentang ketatanegaraan. Sebab, di dalam Islam sendiri terdapat berbagai aliran dan mazhab yang memungkinkan terjadinya perdebatan yang tidak produktif, bahkan menjurus kepada konflik antar-kelompok keagamaan. Pengalaman Pakistan, Afghanistan dan Iran membuktikan, betapa Islam telah menjadi kendaraan empuk bagi konflik politik aliran.[9] Pilihan untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara merupakan sebuah “ijtihad politik” yang membedakan antara Indonesia dengan negara-negara yang berpenduduk muslim lainnya, seperti Arab Saudi, Mesir, Pakistan, Afghanistan, Kuwait, Malaysia dan lain-lain.[10] Pancasila tidak hanya mampu mengkonsolidasikan di antara kalangan muslim yang beragam aliran, tetapi juga mampu membangun harmoni dengan berbagai komunitas non-muslim dan komunitas adat lainnya. Penghujung tahun 80-an, Gus Dur—panggilan akrab almarhum KH. Abdurrahman Wahid—mencetuskan “Pribumisasi Islam”.[11] Tesis ini merupakan sebuah episode baru dalam rangka memecahkan ketegangan yang muncul di antara berbagai kelompok dan aliran keagamaan, di antaranya yang diakibatkan oleh dikotomi santri-abangan. Gus Dur secara genuine mencoba untuk melahirkan sebuah pemikiran sintesis, yang tidak lagi mendikotomikan di antara Santri dan Abangan. Keduanya bisa disintesakan di bawah tenda ahlussunnah wal jamaah. Maka dari itu, dalam rangka menyikapi dinamika keberislaman kontemporer di tanah air, merevitalisasi “Pribumisasi Islam” merupakan sebuah keniscayaan. Tulisan ini mencoba akan mengangkat kembali tesis Gus Dur sekaligus mengaitkannya dengan diskursus Islam Nusantara yang diprakarsai oleh Nahdlatul Ulama dalam muktamar terakhir di Jombang, Jawa Timur. Pribumisasi Islam Jauh sebelum mencuatnya formalisasi Syariat Islam pasca-reformasi yang mengedepankan wajah Islam yang cenderus Arabistik, kecenderungan untuk mengaitkan Islam dengan Arab merupakan sebuah fenomena yang mencuat ke permukaan. Menjadi seorang muslim rasanya tidak nyaman jika tidak menggunakan istilah-istilah Arab dan mengadopsi kebiasaan Arab.[12] Secara sosiologis, Gus Dur memandang fenomena tersebut sebagai gejala ketidakpercayaan diri kalangan muslim dalam menghadapi panetrasi budaya Barat akibat proyek besar globalisasi. Hegemoni kebudayaan yang dilakukan oleh Barat melalui proyek pendaratan dan pendataran ideologi, khususnya kapitalisme dan neoliberalisme, telah menyebabkan umat Islam berada di persimpangan ketertindasan dan keterpurukan, terutama dalam sektor ekonomi. Secara umum, posisi umat Islam sebagai konsumen globalisasi pada umumnya berada di pinggiran. Meskipun ada beberapa negara muslim yang belakangan menjadi pemain inti dalam globalisasi, seperti negara-negara Teluk, tetapi hal tersebut tidak merepresentasikan keseluruhan umat Islam yang umumnya hidup dalam bayang-bayang kemiskinan. Dalam hal ini, respon terhadap modernisasi dan globalisasi cenderung bersifat irasional, bahkan ekstrem. Mereka merespons globalisasi dengan Arabisasi. Padahal, Arabisasi merupakan globalisasi kebudayaan dalam bentuk lain. Sikap ini, tentu saja, berbeda dengan China yang umumnya menganut Konghucu dan India yang penduduknya menganut Hindu, merespon globalisasi dengan cara memanfaatkannya sebagai peluang untuk berperan secara aktif dalam ruang publik globalisasi. Menurut Gus Dur, sikap sebagian umat Islam dalam merespon globalisasi dengan Arabisasi bukanlah solusi yang tepat. Alih-alih ingin memberikan alternatif bagi keterpurukan posisi umat Islam dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi, justru langkah tersebut semakin memperkeruh suasana karena hanya menambah persoalan baru. Karena Arabisasi tidak hanya bertentangan dengan spirit globalisasi yang menekankan demokrasi dan hak asasi manusia, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan kebudayaan yang sudah berkembang ribuan tahun di bumi Nusantara. Maka dari itu, “Pribumisasi Islam” menjadi salah satu alternatif untuk mempertahankan khazanah Islam Nusantara dari gempuran globalisasi di satu sisi dan Arabisasi di sisi lain. Menurut Gus Dur, Islam mesti diletakkan dalam konteks kebudayaan masyarakat. Islam dan kebudayaan hendaknya melakukan adaptasi dan akulturasi di antara keduanya tanpa kehilangan identitas masing-masing. Arabisasi, menurut Gus Dur, menyimpan sejumlah problematika, terutama benturan dengan kebudayaan Nusantara. Arabisasi mempunyai konteks kebudayaan tertentu, sedangkan umat Islam Nusantara juga mempunyai kebudayaan yang khas bagi mereka. Sebab itu, jika Arabisasi dipaksakan, maka tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan “gempa sosial” yang ditandai dengan konflik dan instabilitas. Keyakinan atau keberagamaan dijadikan sebagai modus politik, bukan modus menumbuhkan rasionalitas dan spiritualitas umat. Atas pertimbangan tersebut, Gus Dur mengetengahkan “Pribumisasi Islam” sebagai alternatif untuk menjembatani ketegangan antara agama dan kebudayaan. Dalam konteks tersebut, “Pribumisasi Islam” berupaya merekonsoliasikan antara Islam dengan kebudayaan-kebudayaan lokal, sehingga kebudayaan tersebut bisa eksis. Meminjam Istilah Hasan Hanafi dalam al-Turats wa al-Tajdid, bahwa kebudayaan lokal merupakan khazanah kejiwaan (al-makhzun al-nafsi) yang tidak mungkin dihilangkan. Rekonsiliasi antara Islam dengan kebudayaan-kebudayaan lokal menjadi sebuah keniscayaan. Salah satu langkah yang mesti ditempuh menurut Gus Dur, yaitu paham keislamaan harus mampu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan yang hadir dalam kebudayaan lokal dengan cara memberikan peranan kepada Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah, sebagai metodologi untuk mengharmonikan antara agama dengan kebudayaan-kebudayaan lokal. Dalam hal ini, “Pribumisasi Islam” tidak memahami kebudayan-kebudayaan lokal sebagai musuh dan hambatan dalam beragama, melainkan sebagai kearifan lokal (local wisdom) yang justru dapat memperkukuh eksistensi dan akselerasi misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Salah satu misi utama Islam dalam konteks kebudayaan, yaitu menebarkan harmoni dan akulturasi dengan berbagai macam kebudayaan yang tumbuh dalam masyarakat setempat. Pada abad 15 dan 16 M, Walisongo merupakan eksemplar dari “Pribumisasi Islam”. Fase ini merupakan gugusan awal dari tegaknya ekspresi keberagamaan yang ramah terhadap kebudayaan lokal. Sunan Bonang, melakukan sintesa antara Islam dan kebudayaan lokal melalui tembang tombo ati dan memasukkan kisah-kisah Islam pewayangan Jawa. Langkah serupa dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus, yang melestarikan kebudayaan lokal, baik yang bersumber dari tradisi Hindu maupun tradisi Jawa. Potret tersebut amat berbeda dengan ekspresi keislaman pada abad 17 M yang dimotori oleh Abdul Rauf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al-Makassari yang cenderung bercorak purifikatif.[13] Di masa lalu, “Pribumisasi Islam” telah menunjukkan keberhasilannya dalam penyebaran Islam. Hilangnya benturan antara paham keislaman dengan kebudayaan lokal telah menimbulkan simpati yang amat luar biasa dari masyarakat Nusantara, sehingga mereka tertarik dengan Islam. Sebab itu, masuknya Islam di bumi Nusantara dikenal dengan peaceful Islam. Yaitu penyebaran Islam secara damai, bukan dengan medium peperangan. Jika dibaca dengan saksama, “Pribumisasi Islam” bukanlah ide baru dalam konteks khazanah Islam. Ibnu Khaldun dalam mognum opus-nya Muqaddimah, menegaskan pentingnya akulturasi kebudayaan. Khaldun mempunyai tesis, “manusia hakikatnya adalah makhluk yang akulturatif” (al-insan madaniyyun bi al-thab’i).[14] Tesis ini dapat dipahami secara saksama, bahwa kehendak untuk melakukan akulturasi sebenarnya tidak hanya didasari pada karakter Islam yang selalu bersifat dinamis dan kontekstual sebagaimana dikenal dalam diktum, “Islam relevan untuk setiap zaman dan tempat” (al-islam shalihun li kulli zamanin wa makanin), tetapi juga didasari bahwa watak manusia yang cenderung beradaptasi dengan kebudayaan yang berkembang di dalam komunitasnya. Dalam diskursus Islam Kontemporer, “Pribumisasi Islam” juga dikembangkan oleh Nashr Hamid Abu Zayd dalam Mafhum al-Nash. Jika diteliti dengan saksama, bahwa al-Quran sebagai teks primer umat Islam tidaklah turun dalam ruang hampa. Ia hadir dalam konteks kebudayaan masyarakat Arab. Ketika al-Quran menggunakan bahasa Arab, maka sejak saat itu Islam sedang beradaptasi dengan kebudayaan Arab. Dalam upaya “Pribumisasi Islam”, Nashr Hamid Abu Zayd mempunyai memandang, bahwa kebudayaan Arab merupakan basis material dari al-Quran. Bahkan, al-Quran harus diakui sebagai produk kebudayaan Arab (muntaj tsaqafi).[15] Beberapa pesan di dalam al-Quran secara eksplisit merespon peristiwa yang terjadi, baik di masa lampau pra-Islam maupun masa turunnya al-Quran. Di dalam al-Quran dikenal dengan disiplin sebab-sebab turunnya al-Quran (asbab al-nuzul), yang makin mengukuhkan interaksi wahyu dengan kebudayaan Arab. Meskipun demikian, satu hal yang tidak bisa dihindari yaitu akulturasi Islam dengan kebudayaan Arab pasca-turunnya al-Quran. Islam telah mendorong masyarakat Arab dari tradisi yang cenderung nomaden menjadi modern: menetap dan berbudaya maju. Dari masyarakat Jahiliyah menuju masyarakat modern. Sebab itu, menurut Nashr Hamid Abu Zayd, selain Islam sebagai produk budaya, tetapi Islam juga memproduksi kebudayaan sebagai konsekuensi dari akulturasi budaya. Dalam hal ini, kemudian dikenal sebuah diktum, Islam sebagai produsen budaya (muntij tsaqafi).[16] Dialektika Islam dengan kebudayaan setempat merupakan sebuah keniscayaan. Dalam konteks inilah, menurut Gus Dur ekspresi keberislaman di Timur-Tengah pasti berbeda dengan keberislaman di tanah air. Diperlukan pemikiran Islam yang mampu mendialogkan antara Islam dengan kebudayaan Nusantara. Sementara paham keislaman yang berkembang di Arab harus difilter sedemikian rupa, sehingga tidak menjadi kolonialisme baru yang dapat menimbulkan benturan dengan psikologi masyarakat setempat. Jika kalangan fundamentalis kerap memandang kebudayaan Barat sebagai penjajahan budaya (al-ghazw al-tsaqafi wa al-fikri), maka sebenarnya dalam kacamata “Pribumisasi Islam”, Arabisasi dalam konteks keindonesiaan juga bisa dikatagorisasikan sebagai penjajahan budaya dalam bentuk yang lain. Arabisasi tidak hanya menafikan kebudayaan lokal, tetapi juga menafikan kemungkinan Islam untuk beradaptasi dengan kebudayaan lokal. Arabisasi telah melahirkan keberagamaan yang kaku, rigid, dan eksklusif. Karakter Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin digantikan oleh karakter Islam yang ekstrem. Dalam perkembangan selanjutnya, kalangan muda NU merumuskan “Islam Pribumi” sebagai ideologi gerakan masyarakat sipil. Hal tersebut mendesak dilakukan, karena dalam perjalanannya Arabisasi makin menguat, baik secara politik maupun kultural. Di akhir tahun 80-an, formalisasi Syariat Islam bukanlah sebuah fenomena yang meluas dalam ranah politik. Sementara itu, gerakan-gerakan keagamaan transnasional juga tidak menampakkan taringnya dalam ruang publik. Maka dari itu, merumuskan “Islam Pribumi” mutlak diperlukan dalam rangka melestarikan Islam Nusantara yang ramah terhadap kebudayaan lokal. Gus Dur telah meletakkan fondasi pemikiran yang penting dalam rangka membuat distingsi antara Islam Arab dengan Islam Nusantara. Tugas para generasi muda muslim, khususnya kalangan NU yang mesti melanjutkan pemikiran tersebut melalui rumusan yang lebih komprehensif tetang “Pribumisasi Islam”, terutama agar gagasan tersebut mudah dioperasionalisasi dalam menghadapi gempuran Arabisasi yang semakin dahsyat. Rumusan Pribumi Islam dikukuhkan oleh cendekiawan muda NU dalam salah satu edisi khusus, Jurnal Tashwirul Afkar: “Islam Pribumi: Menolak Arabisme, Mencari Islam Indonesia”. Faktanya, Arabisme yang dilakukan oleh sejumlah gekaran muslim transnasional tidak hanya mengancam tradisi keagamaan NU, tetapi juga ditengarai mengambilalih sejumlah masjid yang berafiliasi pada NU. “Islam Pribumi” dapat dirumusukan dalam tiga hal: Pertama, secara historis-sosiologis, Islam adalah agama yang lahir dalam ruang dan waktu. Islam mengalami pergulatan dan pergumulan kebudayaan yang sangat intensif dengan tradisi Arab dan agama-agama sebelum Islam. Bahkan, beberapa simbol suci dalam Islam, seperti Ka’bah adalah khazanah Arab yang sudah disucikan berabad-abad sebelum Islam, bahkan konon sejak Tuhan menciptakan bumi pertama kali. Begitu pula, ritual shalat, zakat, puasa, dan haji, hakikatnya merupakan salah satu bukti pergulatan Islam dengan kebudayaan Arab.[17] Kedua, tafsir atau hermeneutika merupakan metodologi yang paling efektif dalam akulturasi Islam dan kebudayaan lokal. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan pentingnya hermeneutika dalam menggali nilai-nilai universal yang tersimpan di dalam khazanah Islam. Beberapa kaidah fikih memberikan ruang yang terbuka terhadap hermeneutika dalam rangka memberikan ruang terhadap tradisi lokal dan tradisi umat terdahulu untuk diadaptasikan dengan Islam. Misalnya, kaidah yang berbunyi, “Syariat umat sebelum Islam dapat dijadikan sebagai pedoman bagi umat Islam” (syari’atu man qablana syar’un lana), “Kebiasaan dapat dijadikan sebagai sumber hukum” (al-‘adah muhakkamah), “Sesuatu yang ditetapkan dalam kebiasaan seperti halnya sesuatu yang ditetapkan dalam teks (al-tsabit bi al-‘urf ka al-tsabit bi al-nash).[18] Ketiga, dalam ranah politik dan ruang publik pada umumnya, Islam Pribumi menganut prinsip kemaslahatan sebagai pijakan dalam menentukan sebuah kebijakan. Umar bin Khattab adalah sahabat Nabi yang secara konsisten menerjemahkan prinsip kemaslahatan sebagai barometer dalam menentukan sebuah kebijakan politik. Misalnya, kebijakan muallaf tidak menerima zakat, larangan potong tangan bagi pencuri, perjanjian Elia di Jerusalem, dan lain-lain. Salah satu kaidah fikih yang populer dalam kaitannya dengan kemaslahatan, yaitu “kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyat harus berlandaskan prinsip kemaslahatan” (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah).[19] Ketiga hal tersebut dapat dijadikan sebagai pijakan dalam rangka merumuskan Islam Indonesia yang relevan dengan realitas kultural dan politik. Tidak hanya itu saja, pergulatan Islam dengan globalisasi juga perlu mendapatkan perhatian serius, karena secara sosiologis hal tersebut juga mempengaruhi terhadap karakter keberislaman masyarakat di Tanah Air. Islam Nusantara Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur mengangkat tema, “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Tema ini diangkat dalam rangka meneguhkan posisi NU sebagai ormas Islam yang menjunjung tinggi moderasi dan toleransi dalam rangka memperkukuh solidaritas keindonesiaan dan kemanusiaan universal. Islam Nusantara menjadi sangat penting karena dua hal: Pertama, konteks global. Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) menjadi momok global yang makin menakutkan. Di tengah protes keras dunia terhadap ISIS, namun mereka tidak menyusutkan aksi brutalnya. Bulan ramadhan yang hakikatnya suci dan mulia justru digunakan ISIS untuk menebarkan teror di Kuwait, Tunisia, dan Mesir. Bahkan, saat takbir Idul Fitri berkumandang sebagai simbol kemenangan dan kebahagiaan, ISIS justru terus melancarkan aksinya untuk membunuh warga sipil di Irak. Hari suci nan bahagia disulap oleh ISIS menjadi hari kelabu nan nestapa dengan membunuh sesama Muslim yang sedang merayakan kebahagiaan Idul Fitri. Konteks global ini harus menjadi keprihatinan bersama, karena Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin telah dicemarkan sedemikian rupa oleh ISIS dan kelompok ekstrem lainnya dengan menampilkan wajah Islam yang beringas dan menyeramkan. Mereka menganggap hanya paham dan kelompok mereka yang paling benar, sedangkan paham dan kelompok lain dianggap sesat dan kafir, sekalipun sesama Muslim. Kelompok ini kemudian dikenal dengan al-takfiriyyun. Kedua, konteks nasional. Harus diakui, bahwa konteks global tersebut juga menjalar ke ruang republik. Secara ideologis dan teologis, paradigma “Negara Islam” bukanlah hal yang baru dalam perjalanan sejarah republik. Mereka yang mengamini ideologi tersebut sudah tumbuh benih-benihnya sejak lama dan terus berkembang meskipun secara sembunyi-sembunyi. Dalam era internet yang kian memudahkan seseorang dan kelompok menyebarluaskan ideologi “Negara Islam”, maka sudah hampir dipastikan ideologi ini akan terus membahana di jagat republik. Faktanya, mereka relatif berhasil memasarkan ideologi “Negara Islam”, sehingga mampu merekruit para remaja yang belum mempunyai pemahaman keislaman yang kokoh, sebagaimana layaknya kalangan pesantren. Kedua konteks tersebut cukup menjadi alasan kuat bagi NU agar mencari terobosan untuk menegaskan identitas keislaman yang dapat memberikan harapan bagi Indonesia dan dunia. Tidak bisa dimungkiri, Islam adalah agama yang lahir di Arab dan kitab sucinya berbahasa Arab. Bahkan, kitab klasik yang diajarkan di pesantren pada umumnya berbahasa Arab. Di dalam tradisi NU, salah satu ukuran seorang disebut sebagai ulama, apabila menguasai bahasa Arab dengan baik. Namun demikian, bukan berarti kita harus menelan mentah-mentah seluruh wacana yang bersumber dari Arab, khususnya wacana kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Ibarat lautan yang sangat luas, Arab juga menyimpan sejarah dan realitas kekinian yang kelam. Menurut Marwan Muasher dalam, The Second Arab Awakening and the Battle for Pluralism, bahwa kegagalan dunia Arab dalam melakukan perubahan karena menguatnya anasir-anasir ekstremisme dan melemahnya anasir-anasir pluralisme. Hal inilah yang menyebabkan dunia Arab mengalami kesulitan untuk bangkit dari keterpurukan dan perpecahan yang menyejarah itu. Kelompok-kelompok yang menghalalkan kekerasan dan pembunuhan atas nama Tuhan di dunia Islam bukan hanya isapan jempol. Keberadaan kelompok-kelompok tersebut pada hakikatnya bertujuan memecahbelah umat Islam. Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan kita dalam sebuah hadisnya, Nanti akan muncul diantara umatku kaum yang membaca al-Quran, bacaan kamu tidak ada nilainya dibandingkan bacaan mereka, dan shalat kamu tidak ada nilainya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kamu tidak ada artinya dibandingkan puasa mereka, mereka membaca al-Quran sehingga kamu akan menyangka bahwasanya al-Quran itu milik mereka saja, padahal sebenarnya al-Quran akan melaknat mereka. Tidaklah shalat mereka melalui kerongkongan mereka, mereka itu akan memecah agama Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya (HR. Sahih Muslim/2467, Sunan Abu Daud/4748 ). Perihal kelompok Khawarij yang selalu mengampanyekan kedaulatan Tuhan (hakimiyatullah), Imam Ali bin Abi Thalib memberikan pernyataan yang menarik, bahwa sebenarnya kampanye kedaulatan Tuhan yang kerap dikampanyekan mereka pada hakikatnya bertujuan untuk kebatilan. Sebab paham mereka terbukti telah menumpahkan darah dan perpecahan di tengah-tengah umat. Apa yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dan Imam Ali bin Abi Thalib tersebut seakan menemukan momentum dalam konteks keindonesiaan dan global pada masa-masa mutakhir ini. Perlu terobosan untuk merekonstruksi keberislaman yang mencerminkan identitas Islam sebagai agama yang ramah bagi seluruh penghuni dunia (rahmatan lil ‘alamin). Islam Nusantara yang dijadikan tema muktamar NU ke-33 pada hakikatnya salah satu ijtihad para ulama agar Islam dapat dipahami dan diamalkan untuk kemaslahatan bangsa dan dunia. Karena ekspresi keberislaman yang datang dari dunia Arab mutakhir, khususnya al-Qaeda dan ISIS sangat meresahkan. Menurut Said Aqil Siradj ada beberapa karakteristik dari Islam Nusantara: Pertama, semangat keagamaan (al-ruh al-diniyyah). Semangat keagamaan yang dimaksudkan bukan untuk mengedepankan formalisasi agama, melainkan mengutamakan akhlaqul karimah. Ini sejalan dengan misi utama kedatangan Nabi Muhammadiyah yang membawa misi untuk menyempurnakan akhlaqul karimah. Kedua, semangat kebangsaan (al-ruh al-wathaniyyah). Setiap umat Islam di negeri ini hendaknya mempunyai nasionalisme, cinta Tanah Air. Hal tersebut sudah terbukti dalam sejarah pra-kemerdekaan, para ulama bersama para pendiri bangsa yang lain saling-bahu membawu untuk mewujudkan kemerdekaan dan bersama-sama untuk melahirkan Pancasila sebagai falsafah bernegara. Bahkan, para ulama menegaskan Pancasila sebagai dasar negara sudah bersifat final. Ketiga, semangat kebhinnekaan (al-ruh al-ta’addudiyyah). Setiap umat Islam harus mengenali dan menerima keragaman budaya, agama dan bahasa. Tuhan pasti bisa jika hendak menjadikan makhluk-Nya seragam, tetapi Tuhan sudah memilih untuk menciptakan makhluk-Nya beragam agar diantara mereka saling mengenali, menghormati, serta merayakan kebhinnekaan. Keempat, semangat kemanusiaan (al-ruh al-insaniyyah). Setiap umat Islam hendaknya mampu menjadi prinsip kemanusiaan sebagai pijakan utamanya. Persaudaraan kemanusiaan harus diutamakan dalam rangka menjaga tatanan sosial yang damai dan harmonis. Islam pada hakikatnya adalah agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Islam yang berkembang di negeri ini sudah teruji mampu membangun kebersamaan sebagai bangsa, bahkan terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan, di tengah perkembangan wacana modern seperti demokrasi, pluralisme, jender dan hak asasi manusia, kelompok Muslim mampu beradaptasi dengan baik. Di kalangan NU sendiri, mampu mentransformasikan wacana modern tersebut dengan terma-terma pesantren. Demokrasi menjadi fiqh al-syura, pluralisme menjadi fiqh al-‘addudiyyah, jender menjadi fiqh al-nisa, dan hak asasi manusia menjadi fiqh huquq al-insan. Diskursus Islam Nusantara semakin kokoh melalui sebuah kaidah yang sangat populer di kalangan pesantren, “mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru/kemodernan yang lebih baik” (al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah). Maka dari itu, Islam Nusantara bukanlah sesuatu yang baru dalam khazanah keislaman republik, melainkan khazanah yang sudah berlangsung lama. Ijtihad para ulama ini dimunculkan kembali untuk meneguhkan identitas kita sebagai umat Islam yang hidup di negeri ini dan peran yang harus dilakukan untuk menjaga kedamaian, merawat kebhinnekaan, dan mewujudkan keadilan sosial. Puncaknya, para ulama NU berharap agar wajah Islam yang ramah dan toleran di negeri ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi dunia Islam yang sedang dirundung petaka akibat proliferasi ideologi ISIS. Para ulama NU menyerukan pada dunia Islam di manapun, saatnya kaum Muslim di dunia Arab dan Barat berkiblat ke Indonesia untuk menjadikan Islam sebagai jalan kedamaian dan kerahmatan. Dengan demikian, Islam Nusantara bertujuan untuk mengingatkan kembali pentingnya moderasi dan toleransi dalam Islam. Tetapi, pada saat yang sama Islam Nusantara harus mampu mewarnai dunia, sehingga Islam tidak selalu diidentikkan kekerasan dan terorisme. Semoga muktamar dapat melahirkan pemikiran yang genuine untuk proliferasi Islam Nusantara di negeri ini dan dunia. Tantangan Salah satu problem serius dalam dihadapi dalam keberislaman kontemporer, yaitu bagaimana menyikapi kelompok-kelompok minoritas. Sebagai kelompok minoritas, mereka menjadi korban dari otoritarianisme kelompok mayoritas yang kepakali menganggap sebagai satu-satunya representasi Islam. Tidak jarang kelompok mayoritas mengeksklusi kelompok sempalan sebagai pihak yang harus harus keluar dari Islam. Belakangan ini, misalnya, muncul permintaan sejumlah pihak agar Ahmadiyah keluar dari Islam. Fenomena yang menarik untuk dicermati, karena hal tersebut bertentangan dengan nalar Islam. Bagaimana mungkin sebuah kelompok atau individu dapat mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi, sehingga mempunyai hak untuk mengeklusi sebuah kelompok dari barisan Islam? Berdasarkan pergumulan penulis dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir, ketertarikan seseorang untuk menjadi bagian dari JAI tidak semata-mata karena eksklusivitas dan minimnya pengetahuan dasar-dasar agama. Mereka memilih JAI daripada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah—bahkan tidak sedikit dari mereka yang sebelumnya menjadi pengikut kedua ormas terbesar itu—karena JAI mampu menjawab sejumlah problem yang selama ini mereka hadapi, seperti spiritualitas, kedamaian, hidup hemat, dan nilai-nilai lainnya yang melekat dalam agama. Di samping itu, karena JAI lebih well organized daripada kelompok mayoritas. Menurut Martin van Bruinessen, pada tahun 20-an, Ahmadiyah berhasil menyebarkan Islam modernis, khususnya pada kalangan elite tradisional di Jawa.[20] Di samping itu, pengikut JAI memilih untuk terlibat di dalam aliran yang berbasis di India, bahkan mempunyai militansi yang tinggi, karena mereka merasa nyaman dengan solidaritas yang terjalin di dalam komunitasnya. Ketika kelompok-kelompok mayoritas mulai menunjukkan wajah agama yang cenderung konfliktual, intoleran dan terlibat dalam politik praktis, maka keberadaan kelompok minoritas yang menawarkan solidaritas cenderung diterima. Salah satu slogan yang menonjol dalam JAI, love for all hatred for none, menjadi salah satu daya pikat tersendiri bagi mereka untuk menjadi bagian dari keluarga besar JAI. Meskipun demikian, solidaritas internal di lingkungan JAI tidak serta merta membuat mereka bersifat eksklusif atau memisahkan diri dari pergaulan dengan kalangan mayoritas. Mereka mau berbaur dengan kelompok lain, bahkan melakukan dialog dengan kelompok lain, sehingga mereka bisa eksis dalam ruang publik. Sejumlah anggota JAI ada yang menjadi pejabat publik, akademisi, pengusaha, bahkan polisi dan tentara. Begitu pula fenomena gerakan anti-Syiah yang menguat dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini sama sekali bukan khas Nusantara, karena sejak lama kalangan Sunni bisa hidup berdampingan dengan Syiah. Bahkan, NU sebagai representasi Sunni telah menjadikan sebagian tradisi yang berkembang di kalangan Syiah, seperti Maulid Nabi, ziarah kubur, tahlil, dan lain-lain sebagai tradisi yang inheren di dalam komunitas NU. Karena itu, Gus Dur menyebut NU sebagai “Syiah minus imamah”. Munculnya fatwa sesat terhadap Syiah dan Ahmadiyah merupakan problem nalar yang cukup serius. Fatwa sesat merupakan tantangan serius bagi Islam Nusantara. Pemandangan tersebut merupakan praktek dari kalangan muslim puritan (wahabi-takfiri), yang bertujuan untuk menegasikan eksistensi kelompok lain. Khaled Abou el Fadhl menyebut fatwa sesat sebagai “nalar otoriter”, karena telah mengambil alih peran Tuhan.[21] Wilayah umat sejatinya tidak menyangkut keyakinan, melainkan hukum Islam yang bersifat partikular. Mereka yang menganut paham ahlussunnah wal jamaah biasanya menggunakan fasilitas hukum yang dikenal dengan wajib, haram, makruh, mandub, dan mubah. Sedangkan mereka yang getol menggunakan istilah sesat adalah kalangan Wahabi.[22] Oleh sebab itu, dalam menyikapi keyakinan kelompok-kelompok minoritas di dalam Islam, ada baiknya kita merujuk kepada pandangan Muhammad Abduh, tatkala menyikapi merebaknya fenomena pengafiran dan penyesatan di Mesir, “Jikalau dalam diri seseorang terdapat 100 kekufuran dan 1 keimanan. Maka orang tersebut mukmin, dan tidak layak disebut kafir”.[23] Menyikapi kelompok-kelompok minoritas sebagai kelompok sesat, apalagi dengan mengkriminalisasi mereka, bukanlah sebuah sikap arif, sebagaimana diamanatkan Tuhan di dalam al-Quran, agar dakwah ke jalan Tuhan disampaikan dengan hikmah, nasehat yang santun, dan dialog yang konstruktif. Sesungguhnya Tuhalah yang pada akhirnya akan menentukan sebuah kelompok sesat atau selamat.[24] Dengan demikian, Islam Nusantara akan menghadapi problem nalar yang cukup serius untuk menetralisir fatwa-fatwa keagamaan yang dapat menimbulkan konflik sosial. Apalagi di tengah gejala impor dan infiltrasi paham keagamaan dari Timur-Tengah, yang tidak mempunyai basis sejarah dan paradigma yang kuat. Revitalisasi Beberapa penjelasan di atas menggambarkan harapan dan tantangan. Pribumisasi Islam yang mengakar kuat di bumi Nusantara merupakan salah satu potensi dalam rangka mengembangkan Islam rahmatan lil ‘alamin. Ekspresi keberislaman yang moderat telah memungkinkan umat Islam untuk melestarikan tradisi lokal dalam rangka mengais kearifan lokal. Di samping itu, umat Islam juga mampu beradaptasi dengan modernitas. Faktanya, umat Islam dapat menerima demokrasi dan hak asasi manusia sebagai instrumen untuk memperkuat tali kebangsaan dan kemanusiaan. Maka dari itu, diktum “Mempertahankan tradisi masa lalu yang baik sembari mengambil tradisi kemodernan yang lebih baik” (al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah) merupakan sebuah langkah yang tepat untuk membangun peradaban dan keadaban publik dalam konteks keindonesiaan. Meskipun demikian, tantangan di masa kini dan masa mendatang tidaklah mudah. Globalisasi telah mengubah banyak hal, karena intensitas interaksi dan pertukaran pemikiran begitu tinggi, maka diperlukan upaya-upaya serius untuk revitalisasi Pribumisasi Islam, terutama dalam rangka membumikan paham keagamaan yang makin dinamis. Di era google, setiap orang mempunyai kebebasan dan kemerdekaan untuk menganggap dirinya sebagai “muslim sejati”. Setiap orang mempunyai kemungkinan yang sama untuk mengetahui banyak hal tentang pemahaman keislaman, meskipun hanya di permukaan, sehingga muncul istilah “muslim google” dan “muslim wikipedia”. Maka dari itu, para penggiat studi keislaman harus mampu mengartikulasikan pemikiran-pemikiran keislaman kontemporer yang konstruktif dan mampu menjawab beberapa problem kemanusiaan. Setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan: Pertama, perlunya mengembangkan paham keislaman yang senatiasa mendialogkan antara teks dengan konteks. Pergulatan teks dan konteks yang dinamis akan melahirkan pemikiran-pemikiran konstruktif. Interaksi antara teks dengan konteks akan membebaskan penafsir dari fanatisme terhadap teks dan fanatisme terhadap konteks. Pergulatan teks dengan konteks akan melahirkan pemikiran alternatif guna menjadikan teks agar senantiasa relevan dengan konteks. Kedua, mengembangkan paham keislaman yang mendorong terwujudnya kemaslahatan publik. Pemikiran keislaman harus mendorong dan merespon kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan langsung dengan kemaslahatan publik. Sejumlah isu-isu kontemporer, seperti terorisme, lingkungan, kemiskinan, buruh migran, perdagangan anak, pendidikan, pelayanan kesehatan dan lain-lain. Pemikiran keislaman harus lebih peka dalam merespon persoalan kerakyatan dan keumatan, sehingga pemikiran keislaman tidak berada di menara gading. Ketiga, mengembangkan paham keislaman yang mendorong pada kesadaran kewarganegaraan dan multikulturalisme. Faktanya, di sejumlah negara-negara yang mayoritas penduduknya seperti di tanah air, problem perlindungan terhadap kalangan minoritas masih menjadi persoalan. Pemikiran keislaman kontemporer harus mampu memecahkan problem raibnya hak-hak kalangan minoritas dan mendorong terciptanya kewarganegaraan. Keempat, pemikiran keislaman kontemporer harus mampu mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender. Problem dunia Islam modern, yaitu perlakuan diskriminatif terhadap perempuan masih menjadi fenomena yang mengemuka. Sebab itu, perlu pemikiran keislaman yang secara serius mengkonstruksi pentingnya kesetaraan dan keadilan jender. Empat hal tersebut merupakan langkah untuk merevitalisasi Pribumisasi Islam yang pernah digelorakan oleh Gus Dur dalam konteks menemukan kembali eksistensi Islam Nusantara yang telah berhasil membangun keberagamaan yang toleran terhadap tradisi lokal dan adaptif terhadap nilai-nilai kemodernan. Di masa mendatang “Pribumisasi Islam” harus mampu merespon isu-isu kontemporer, terutama dalam rangka mempertahankan tradisi dan mengadopsi modernitas yang relevan bagi kemajuan umat. Dan ini mutlak tugas dari Islam Nusantara. Daftar Pustaka
Catatan Kaki [1]Makalah ini dipresentasikan dalam Kajian Islam Madani, yang diselenggarakan oleh Komunitas Islam Madani bekerjasama dengan Pengurus Pusat Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (PP IJABI) pada Hari Kamis, 26 November 2015 di Aula Komplek Rumah Jabatan Anggota DPR RI Jakarta Selatan. [2]Penulis adalah Ketua Moderate Muslim Society (MMS). [3]Roy Suryo, legislator dari Partai Demokrat memnberikan pernyataan dalam sebuah wawancara dengan TVONE pada tanggal 28 dalam program Kabar Indonesia Malam, bahwa Mbah Maridjan sebagai “muslim taat”, karena rajin menunaikan shalat lima waktu di masjid. Istilah “muslim taat” dalam beberapa kasus juga disandang bagi kalangan muslim puritan yang secara literal melaksanakan pesan yang terdapat di al-Quran dan Sunnah. [4]Di sisi lain, sejumlah stasiun televisi nasional seperti Metro TV menggambarkan Mbah Maridjan sebagai sosok yang rajin melaksanakan ritual Kejawen seperti tirakat, slametan, dan melakukan ritual di tempat yang diyakini kramat. Lane dalam Manners and Customs of Modern Egyptians, juga mengamati tentang abangan pada kaum petani di Mesir mempunyai kemiripan dengan praktek kaum abangan di Jawa. [5]Martin van Bruinessen, Islam Lokal dan Islam Global, Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi 14, 2003, h. 69. Meskipun demikian, banyak pihak yang menentang katagorisasi yang dibuat oleh Geertz, di antaranya Marshal Hudgson, Nakamura, Azyumardi Azra, M. Ricklef dan Bambang Pranowo. Tidak mungkin melakukan generalisasi santri-abangan terhadap sebuah komunitas, termasuk masyarakat Jawa. Faktanya, keberagamaan masyarakat Jawa merupakan proses yang tidak pernah berhenti dan monoton dalam satu katagori, melainkan sebuah proses yang dinamis. [6]Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, Jakarta: Kompas, Cetakan II, 2010, h. 106-153. Hadratussyaikh merumuskan Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu paham yang dalam akidah mengacu pada Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi; dalam fikih mengacu pada Imam empat mazhab: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal; dan dalam tasawuf mengacu kepada Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Perlu diketahui, bahwa paham ahlussunnah wal jamaah merupakan paham yang dianut sebagian kalangan Mesir di dunia Islam, yang ditandai dengan afiliasi mereka terhadap mazhab-mazhab fikih dalam hukum Islam. [7]Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari secara tegas menyatakan, bahwa antara agama dengan tradisi tidak bisa dipertentangkan. Yang paling penting bahwa dalam tradisi tersebut juga terdapat unsur-unsur yang menjiwai nilai-nilai yang terkandung di dalam Syariat. Secara khusus, Hadratussyaik juga menggarisbawahi penting tujuan utama dari Syariat. [8]Soekarno, Islam, Pancasila, NKRI, Jakarta: Komunitas Nasionalis Religius Indonesia, 2006, h. 5 [9]Dalam konteks negara-bangsa, Soekarno sebenarnya lebih melirik model sekularisme Turki daripada model Pan-Islamisme Arab dan negara berdasarkan Syariat Islam, sebagaimana diterapkan di Arab Saudi, Iran, dan Pakistan. Di samping itu, bahwa yang terpenting konteks keberislaman masyarakat muslim di tanah air berbeda dengan konteks negara-negara Arab dan negara Islam lainnya. [10]Nadirsyah Hosen, Shari’a & Constitutional Reform in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2007 [11]Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh, eds, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989, h. 82 [12]Menurut Gus Dur, beberapa istilah yang digunakan masyarakat muslim pada umumnya identik dengan istilah-istilah Arab, seperti “Ahad”, “assalamu’alaikum”, dan lain-lain. [13]Imdadun Rahmat dkk, Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia, Jakarta: Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi 14 tahun 2003, h. 10 [14]Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Maktabah al-Ashriyyah, 1995, h. 40 [15]Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Quran, Maroko: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, Cetakan ke VI, 2005, h. 24 [16]Ibid [17]Imdadun Rahmat dkk, Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia, h. 15-19 [18]Imdadun Rahmat dkk, Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia, h. 20-27 [19]Imdadun Rahmat dkk, Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia, h. 28-32 [20]Martin van Bruinessen, Islam Lokal dan Islam Global di Indonesia, h. 81 [21]Khaled Abou el Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women, United Kingdom: OneWorld, Oxford, 2003 [22]Khaled Abou el Fadl, The Great Theft, Wrestling Islam from The Extremists, New York: Haper San Francisco, 2005. [23]Muhammad Abduh, al-A’mal al-Kamilah li al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh, Kairo: Dar el-Shorouk, Cetakan II, 2006, h. 304 [24]QS. al-Nahl [16]: 125 Comments are closed.
|
Kajian Islam MadaniKumpulan catatan kajian dari Komunitas Islam Madani dan artikel lain seputar Islam yang menyejukkan Arsip |